
Taat Ulama dan Umara
Bertambahnya kasus Covid-19 membuat prihatin banyak pihak di sisi lain upaya memerangi agar pandemi segera berakhir terus dilakukan. Mulai dari sosisalisasi 5 M (mencuci tangan dengan handsanitizer/air mengalir, memakai masker, menjaga jarak, menjauhi kerumunan / social distancing dan membatasi mobilitas) hingga dilaksanakannya vaksinisasi. Media massa cetak hingga elektronik mewartakan vaksinasi mulai diberikan kepada presiden, para menteri, kepala daerah, tokoh agama, sosial hingga selebritas. Hal itu untuk menunjukkan komitmen para pemimpin serta vaksinasi aman sehingga harus didukung seluruh rakyat dan umat. Masyarakat tak perlu ragu divaksin karena bertujuan mulia agar pandemi segera berakhir. Selain merasa aman, kaum muslim pun tak perlu ragu karena vaksin sudah dinyatakan halal oleh organisasi yang berwenang. Meski sudah divaksin, 5 M harus tetap dilanjutkan dalam keseharian.
Umat dan rakyat harus mendukung menaati anjuran dan ajakan pemerintah (ulil amri, umara). Keputusan dan kebijakan pemerintah (ulil amri, umara) yang kemudian diterapkan pastinya sudah didasarkan analisis keilmuan para pakar di bidangnya. Sehingga keputusan tersebut dapat dipertanggungjawabkan untuk kemaslahatan umat. Maka menjadi kewajiban umat untuk mendukung dan mentaati. Alloh SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS An-Nisaa : 59).
Taat ulil amri (TU) atau taat umara (TU) berada pada urutan ketiga, sesudah taat pada Allah dan Rasul. Sehingga bila ada oknum pemimpin yang memerintahkan untuk berbuat maksiat, maka umat tidak boleh mentaatinya. “Tidak ada kewajiban taat dalam rangka bermaksiat (kepada Allah). Ketaatan hanyalah kepada perkara yang ma’ruf (bukan maksiat).” (HR Bukhori No 7257). Itu artinya umat harus taat ulama (TU) terlebih dahulu, karena para ulama adalah warosatul anbiya’ (pewaris para nabi). Ketaatan itu pun tidak secara membabi buta yang mengakibatkan taklid. Sebagai warosatul anbiya’, para ulama senantiasa berhati-hati dalam menentukan suatu sikap. Apabila masih ada keraguan maka umat bisa menanyakan kepada para ulama. “Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu jika kamu tiada mengetahui.” (QS Al-Anbiyaa (21) ayat 7)
Kehati-hatian para ulama tercermin dalam sikapnya yang selalu takut kepada Allah SWT seperti tercantum dalam Qur’an : “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” (QS. Al-Fathir 35 ayat 28). Para tokoh agama dalam hal ini ulama, yang secara ikhlas untuk divaksin serta turut mengkampanyekan 3 M patut diikuti dan ditaati. Keikhlasan dan kesanggupan para ulama menjalani vaksin sudah didasarkan atas rasio, keilmuan serta kehati-hatian. Bukan untuk kepentingan diri dan kelompok, namun untuk kemaslahatan masyarakat luas. Semoga dengan tauladan nyata dari para pemimpin dan para ulama atas kesediaannya divaksin, secara ikhlas dan sadar diikuti seluruh warga dan umat. Muara akhir agar pandemi segera berlalu, seluruh sendi kehidupan berjalan normal. Masyarakat sejahtera lahir batin dengan taat ulama (TU), taat umara (TU), taat ulil amri (TU). Semoga. Aamiin yaa Mujibassaailin.
Artikel ini dimuat di : Buku yang berjudul BELAJAR MEN(G)UANGKAN GAGASAN
Mutiara Jumat – Taat Ulama dan Umara – Sejarah Kebudayaan Islam (skimadiy.com)